Menurut catatan laman lembaga nonprofit asal Washington Fund for Peace yang bisa diakses di http://fsi.fundforpeace.org 1 Januari 2017, Indonesia menempati posisi ke-86 dari daftar negara yang paling rentan di dunia. Kerentanan ini dipicu beberapa isu sensitif yang bergerak liar menjadi viral di media sosial sehingga pada akhirnya diangkat di media nasional. Pro dan kontra dari masing-masing kelompok yang merasa punya dalil pembenar akhirnya ditangkap oleh TVONE dalam program Indonesian Lawyers Club (ILC) untuk dijadikan content dengan judul yang cukup menyengat perhatian pemirsa “Setelah Ahok Minta Maaf” yang tayang tanggal 11 Oktober 2016 pukul 19.37 WIB.
Ujungnya acara tersebut tidak hanya mendapat
perhatian dari audien, tetapi juga benar-benar mendapatkan perhatian dari
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat
yang memberikan peringatan tertulis kepada Direktur Utama TV One dengan dasar bahwa program ILC berjudul
“Setelah Ahok Minta Maaf” bermuatan perbedaan pendapat dalam masalah berlatar
belakang Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA) yang dikhawatirkan berpotensi
menimbulkan konflik di masyarakat. KPI bahkan menegaskan untuk tidak menayangkan
ulang (re-run) acara ini kembali.
Ada beberapa hal yang seharusnya dicermati oleh lembaga penyiaran
baik TV ataupun Radio tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standart Program
Penyiaran (P3SPS) bagi kalangan awak media. Dalam Pedoman Perilaku
Penyiaran Bab IVpasal 6 tertulis “lembaga penyiaran wajib menghormati
perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan yang mencakup keberagaman budaya,
usia, gender dan/atau kehidupan social ekonomi”. Hal ini juga diperkuat
dengan pasal 7 yang berbunyi “lembaga
penyiaran tidak boleh menyajikan program yang merendahkan,mempertentangkan
dan/atau melecehkan suku agama, ras dan antargolongan yang mencakup keberagaman
budaya, usia, gender dan/atau kehidupan social ekonomi”.
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana reaksi ustadz sekaliber
Yusuf Mansyur mengunggah video nangisnya karena perbedaan tafsir yang langsung
bisa dikonsumsi semua masyarakat baik yang awam hingga akademisi dalam debat
tersebut. Dalam pasal 7 tersebut ditegaskan bahwa mempertentangkan agama dalam hal ini (tafsir Al-Maidah) tidak diperbolehkan
dalam dunia penyiaran.
Efeknya bisa kita lihat setelah acara ini selesai, serentak
masing-masing kubu membuka ring beradu opini tanpa hakim, semua merasa paling
benar dan merasa paling islami. Adanya keberpihakan media kepada salah satu
kelompok juga menggembosi semangat netralitas media sesuai Pedoman Perilaku
Penyiaran Bab VII pasal 11 Ayat 2 dimana
“Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi
dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran”. Kewajiban para awak
media seharusnya memperhatikan isi siaran untuk lebih melindungi kepentingan publik,
menghindari keresahan dan gejolak di masyarakat agar tidak terjadi chaos seperti yang ditakutkan beberapa
kalangan pemerhati media yang merujuk pada teori komunikasi tertua yang disampaikan
Dr Herold Laswell “Who says what in which
channel to whom with what effect”.
Dalam dunian penyiaran, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika
membuka kajian yang “nyrempet” perbedaan
pendapat (khilafiyah) karena media massa yang dipakai akan diakses masyarakat
luas dengan latar belakang yang berbeda sehingga rentan akan terjadi gesekan. Maka
sudah barang tentu awak media lebih memilih bersikap hati-hati untuk
mendatangkan nara sumber. Bahkan mempermasalahkan amaliayah
suatu kebudayaan yang berpotensi meresahkan jelas tidak diperbolehkan sesuai aturan.
Meski demikian di sejumlah kasus, komisi penyiaran tetap juga
kecolongan dengan adanya program yang mengupas perbedaan pandangan keagamaan
seperti tahlil, qunut, tawasul dan lainya. Dalam praktiknya, lembaga penyiaran
resmi diawasi dua
puluh empat jam nonstop oleh Balai Monitoring
(BALMON) bersama Dinas Perhubungan (DISHUB) dengan alat perekam cangkih berkapasitas besar. Sehingga apa saja konten yang disiarkan oleh lembaga penyiaran
baik TV ataupun Radio tidak akan pernah terlewatkan sedetik pun. Selain itu internal lembaga penyiaran
berkewajiban melaksanakan perekaman seluruh isi siaran sesuai dengan aturan Standar
Program Siaran (SPS) Bab XXIX Pasal 74 ayat 1 ”Lembaga penyiaran wajib menyimpan materi rekaman program siaran secara
baik dan benar paling sedikit selama satu tahun setelah disiarkan” sehingga
apabila dibutuhkan
pihak lembaga penyiaran baik radio ataupun televisi bisa menyerahkan materi rekaman program siaran kepada Komisi
Penyiaran Indonesia bila mana program siaran
dipermasalahkan
dan adukan oleh masyarakat.
Beberapa hal yang mendasari apabila mengetengahkan kajian yang
berbau khilafiyah di media massa diatur pada pada BAB IV pasal 7 pada point b dimana
materi Agama wajib “menyajikan muatan
yang berisi perbedan pandangan/paham dalam agama tertentu secara berhati-hati,
berimbang, tidak berpihak, dengan nara sumber yang berkompeten, dan dapat
dipertanggungjawabkan”. Hal ini bertujuan selain menambah wawasan dari
berbagai sudut pandang namun juga untuk saling menghormati pandangan antar
kelompok masing-masing.
Hariyanto Ar
15.32.00278
KPI III
Hariyanto Ar
15.32.00278
KPI III
No comments
Post a Comment